Jleb! Singgung MK Tengah Berkabung, Hakim Arief Hidayat: Tak Pernah Terjadi di Zaman Soeharto dan SBY

 


Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyinggung adanya kekuatan yang berpusat di tangan-tangan tertentu di era reformasi saat ini.

Ia bahkan menyebut, kekuasaan yang berpusat di tangan-tangan tertentu ini tidak pernah terjadi di era presiden sebelumnya, termasuk Presiden Soeharto dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

“Ini tidak pernah terjadi di zaman Soeharto, bahkan di zamannya Pak SBY, belum nampak betul seperti di zaman sekarang,” kata Arief dalam acara Konferensi Hukum Nasional di Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Rabu (25/10/2023).


Arief menyampaikan, di masa Orde Baru, masih ada pembagian kekuasaan berdasarkan teori trias politika, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang dipimpin oleh pihak yang berbeda-beda.

Baca juga: Hakim MK Arief Hidayat: RI Tak Baik-baik Saja, Ada Kekuatan Terpusat di Tangan Tertentu

Sedangkan saat ini, pihak yang memimpin seolah memiliki banyak kaki. Memiliki partai politik, media massa, hingga memiliki tangan-tangan kekuasaan di tiga lembaga tersebut.

“Selain dia menguasai, mempunyai tangan-tangan di eksekutif, legislatif yudikatif, dia juga mempunyai partai politik, sekaligus dia mempunyai mass media. Dia juga pengusaha besar yang mempunyai modal, itu di satu tangan atau beberapa gelintir orang saja,” ucap Arief.

Oleh karena itu, dia menyatakan Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja di berbagai sektor. Ada kecenderungan sistem ketatanegaraan dan sistem bernegara sudah jauh dari pembukaan UUD 1945.

 

Dia pun mengungkapkan masalah yang dihadapi Mahkamah Konstitusi baru-baru ini. Prahara itu membuat MK tengah berkabung, dan hakim MK terbelah saat memutuskan gugatan uji materi.

Baca juga: Jadi Anggota Majelis Kehormatan, Jimly Akui Reputasi MK di Titik Nadir

“Bayangkan, di era Soeharto, di era rezim Orde Lama atau Orde Baru sekalipun, itu tidak ada kekuatan yang terpusat di tangan-tangan tertentu. Oleh karena itu harus hati-hati betul,” ujar dia.

Sebagai informasi, baru-baru ini MK menjadi sorotan usai mengabulkan sebagian gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pada Senin (16/10/2023).

Lewat putusan itu, Mahkamah memperbolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.

 


Padahal di pagi hari yang sama, MK menolak tiga putusan batas usia capres dan cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun.

Saat memutus perkara tersebut, tampak 4 hakim konstitusi termasuk Arief Hidayat menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion).

Menurut Arief, ia merasakan adanya kosmologi negatif dan keganjilan pada lima perkara a quo yang ditangani MK soal batas usia capres dan cawapres. Keganjilan ini perlu dia sampaikan karena mengusik hati nuraninya.

 

Salah satu keganjilannya adalah soal penjadwalan sidang yang terkesan lama dan ditunda.

Bahkan, prosesnya memakan waktu hingga 2 bulan, yaitu pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang ditolak MK, dan 1 bulan pada Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang juga ditolak MK.

Baca juga: Majelis Kehormatan MK Akan Periksa Dugaan Pelanggaran Etik Anwar Usman dkk Secara Terbuka

Ia mengakui, lamanya penjadwalan sidang memang tidak melanggar hukum acara, baik yang diatur dalam UU tentang MK maupun Peraturan MK. Namun, penundaan berpotensi menunda keadilan.

“Hal ini mengusik hati nurani saya sebagai seorang hakim yang harus menunjukan sikap penuh integritas, independen, dan imparsial, serta bebas dari intervensi politik manapun dan hanya berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara yang berdasar pada ideologi Pancasila,” kata Arief saat membacakan dissenting opinion di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023). kompas.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *