Duduk Perkara Kekhususan Jakarta Setelah Tak Lagi Jadi Ibu Kota: Gubernur Ditunjuk Presiden

 


Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) telah disetujui menjadi usulan inisiatif DPR. Dalam salah satu pasalnya disebutkan, gubernur dan wakil gubernur Jakarta akan ditunjuk oleh presiden. Pasal tersebut menuai kritik dari banyak pihak dan dinilai semakin menunjukkan upaya mengerdilkan demokrasi.

Di Pasal 10 ayat 1 dikatakan, Provinsi DKJ dipimpin oleh gubernur dan dibantu oleh wakil gubernur. Ayat 2 secara gamblang menyebut gubernur dan wakil gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD. Poin inilah yang menuai polemik dan dinilai sebagai upaya pembajakan demokrasi.

Ayat 3 di pasal yang sama disebutkan, masa jabatan gubernur dan wakil gubernur selama lima tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya ditunjuk dan diangkat kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Ayat 4, ketentuan mengenai penunjukan, pengangkatan, dan pemberhentian gubernur dan wakil gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dengan peraturan pemerintah (PP).


Sementara itu, di Pasal 4, Provinsi DKJ disebut nantinya akan menjadi pusat perekonomian nasional kota global dan kawasan aglomerasi. Sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat 2, berfungsi sebagai pusat perdagangan. “Pusat kegiatan layanan jasa dan layanan jasa keuangan, serta kegiatan bisnis nasional, regional dan global,” tulis RUU tersebut.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi menjelaskan maksud pemilihan gubernur Jakarta yang diatur dalam RUU DKJ. Menurut dia, hal tersebut tak menghilangkan demokrasi sepenuhnya.

“Gubernur Jakarta itu diangkat diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan usulan atau pendapat dari DPRD. Sehingga usulan atau pendapat dari DPRD itu, DPRD akan bersidang siapa nama-nama yang akan diusulkan,” ujar Baidowi kepada wartawan, Selasa (5/12/2023).

“Itu proses demokrasinya di situ. Jadi, tidak sepenuhnya proses demokrasi hilang karena demokrasi itu tidak harus bermakna pemilihan langsung,” kata dia melanjutkan.


Ia menjelaskan, pemilihan gubernur oleh presiden menjembatani keinginan politik antara yang menginginkan kekhususan di Jakarta, termasuk yang paling utama dalam sistem pemerintahannya. Bahkan, kata Baidowi, awalnya ada pandangan, gubernur Jakarta dipilih langsung oleh presiden tanpa meminta pendapat DPRD. Namun, ada yang mengingatkan mengenai Pasal 18a UUD 1945 yang menjelaskan bahwa kepala daerah otonom harus dipilih oleh rakyat.

“Pemilihan tidak langsung juga bermakna demokrasi. Jadi, ketika DPRD mengusulkan, ya itu proses demokrasinya di situ, sehingga tidak semuanya hilang begitu saja,” ujar Baidowi.

Di samping itu, ia juga menyinggung Pilkada DKI Jakarta 2017. Kontestasi tersebut dipandang memakan biaya yang besar. “Lebih baik anggaran yang besar itu digunakan untuk kesejahteraan rakyat, untuk pembangunan, karena dengan status non-ibu kota itu nanti situasinya pasti berbeda,” ujar politikus PPP itu.

Baidowi menambahkan beberapa alasan pemilihan gubernur Jakarta dilakukan oleh presiden, salah satu alasannya adalah banyaknya aset nasional di Jakarta. “Banyak aset-aset nasional milik pemerintah pusat itu masih ada di Jakarta sehingga masih perlu campur tangan dari pemerintah pusat,” ujar Baidowi.

 

Pemilihan tidak langsung juga bermakna demokrasi

 

Ia menjelaskan, pindahnya ibu kota negara ke Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, tak dilakukan dengan instan. Ada proses yang bertahap untuk memindahkan pusat pemerintahan ke sana.

“DPR itu berkantor di Nusantara itu masih lama, gedung DPR itu masih di sini, kementerian masih di sini, terus mau diapakan? Mau dilepas begitu saja kan tidak mungkin. Jadi, masih ada keterkaitan antara IKN Nusantara dengan Daerah Khusus Jakarta. Itulah yang kemudian membuat kita win-win solution-nya seperti itu,” ujar Baidowi.

Baleg DPR telah menetapkan draf hasil penyusunan RUU DKJ. Fraksi PDIP, Fraksi Gerindra, Fraksi PPP, dan Fraksi Demokrat setuju dengan draf penyusunan RUU DKJ. Sementara itu, Fraksi Nasdem, Fraksi PKB, dan Fraksi PAN menyatakan setuju dengan catatan. Satu menolak, yakni Fraksi PKS.

Fraksi PKS menilai penyusunan RUU DKJ selama ini dilakukan terburu-buru oleh Baleg DPR. “FPKS berpandangan bahwa penyusunan RUU DKJ yang tergesa-gesa dan terkesan ugal-ugalan yang seharusnya sudah lebih dahulu ada sebelum adanya Undang-Undang IKN berpotensi menimbulkan banyak permasalahan,” ujar anggota Baleg dari Fraksi PKS, Hermanto.


Hermanto berpendapat, pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jakarta oleh presiden menjadi aroma demokrasi yang anomali. Padahal, menurutnya, demokrasi Indonesia sudah cukup maju. Draf itu seolah ingin membawa Indonesia kembali ke masa lalu. “Ini tidak memberikan ruang hak demokrasi kepada masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya,” ujar Hermanto.

Namun, setelah pasal penunjukan langsung gubernur Jakarta disorot, fraksi di DPR ramai-ramai menolak. Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu, mengaku tidak setuju jika gubernur dan wakil gubernur Jakarta dipilih presiden.

“Setelah Jakarta tidak lagi menjadi daerah khusus ibu kota, saya tidak setuju jika gubernur dan wakil gubernur Daerah Khusus Jakarta ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh presiden,” cicit Masinton lewat akun platform X miliknya, @Masinton.

Fraksi PKB menjadi salah satu yang menyepakati draf RUU DKJ. Namun, mereka memberikan catatan mengenai pemilihan gubernur, wali kota, yang harus melalui pemilihan langsung oleh rakyat. “Kami menyetujui pembahasan RUU DKJ dengan beberapa catatan. Salah satu catatan kami adalah jangan sampai status baru Jakarta akan mengebiri hak-hak rakyat untuk memilih pimpinan daerah mereka secara demokratis melalui mekanisme pemilu,” ujar juru bicara Fraksi PKB DPR Ibnu Multazam.

 

Fraksi PKB memandang RUU DKJ memang harus segera dibahas agar tidak terjadi kekosongan status administrasi Kota Jakarta. Sebab, status Jakarta harus segera diatur agar tak terjadi permasalahan hukum.

Ia juga sepakat jika Jakarta menjadi pusat perekonomian nasional. Kendati demikian, Fraksi PKB tidak sepakat jika Jakarta hanya berstatus sebagai wilayah administratif yang sepenuhnya dikendalikan dan dikontrol oleh pemerintah pusat.

“Meskipun beralih fungsi menjadi pusat perekonomian nasional dengan menyediakan layanan jasa keuangan dan pusat bisnis global, namun dalam pandangan Fraksi PKB DKJ harus menjadi wilayah otonom yang menjamin hak-hak warganya secara demokratis,” ujar Ibnu.

Jika hanya berstatus sebagai wilayah administratif, kewenangan memilih kepala daerah seperti gubernur bisa dilakukan oleh presiden. Menurut dia, situasi itu rentan memicu konflik kepentingan karena presiden merupakan figur politik yang punya agenda politik dan ekonomi tersendiri.

“Kalau bersifat otonom maka pimpinan DKJ, mulai dari gubernur, wali kota, bupati, hingga DPRD, akan dipilih langsung oleh rakyat sesuai mekanisme pemilu,” ujar anggota Baleg DPR itu. republika.co.id


Lho emang kenapa? Kan bagus kalo prabowo-gibran menang, bisa tunjuk langsung kaesang jadi gubernur Jakarta. Jadi makin banyak pemimpin anak muda yang cerdas dan gemoy. Iya dong? https://t.co/KLXnQprkeK

— Acho (@MuhadklyAcho) December 5, 2023

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *